Jumat, 09 Oktober 2009

Apa yang Salah?

ATak-Tak Dung-Dang-Dutt....Tak-Tak Dung-Dang-Dutt...Datanglah.......kehadiranmu...KuTunggu.....

Alunan distorsi musik dangdut dari gedung sebelah sungguh memecah konsentrasi dan memadamkan sebagian lampu-lampu yang sedang menyala dalam otak.
Rentetean rumus yang tertulis di whiteboard seolah ikut bergoyang ikut berdendang mata pun jadi kunang-kunang.
“ Aduh, gak banget kuliah di sini “, gerutu teman saya.
Saya Cuma bisa tersenyum sambil angguk-angguk gak jelas.
Ya memang karena satu dan lain hal kami yang semestinya siang itu kuliah d MIPA harus pindah ruangan kelas ke gedung jurusan Ilmu Komputer yang kebetulan sedang dalam renovasi dan parahnya lagi di sebelah gedung tersebut sedang diadakan acara entah apa itu.
Yang jelas alunan musik dangdut silih bergantian dengan getokan palu dari para tukang.
Kasihan Wulan, konsentrasinya buyar saat dia mencoba membuktikan FIELDS dalam mata kuliah Struktur Aljabar yang semakin abstrak saja kalau belajar seperti ini.
Lalu kemudian sayup-sayup saya dengar : “ Untuk setiap bilangan bulat positif kelipatan n, merupakan ring dari bilangan Z”, begitulah Pak Prof. Wahyudin menjelaskan.
Lho, seharusnya subring bukan ring, saya masih ingat pelajaran minggu lalu, hmmm...bingung.
“ Ma, bapak tadi bilang ring apa subring ? “. Tanya saya pada Rhahma.
“ Oh, iya jadi untuk setiap bilangan bulat positif kelipatan n itu adalah subring dari bilangan Z , emang kenapa? “. Jawabnya.
“ Ah, gak tw ney lagi budeg aja kupingnya”, cetusku.
Ah, entah apa yang salah kuping ku atau suara bising itu, untung hanya saya yang gangguan pendengaran coba bayangkan kalau semua mahasiswa yang kuliah saat itu mendengar ring dan bukan subring, wah....bisa berabe urusannya bisa fatal dalam ngisi ujian nanti.
Dan karena terlanjur illfeel dengan suasana belajar saat itu akhirnya saya jadi menerawang gak jelas menuju Perancis mengabaikan semua penjelasan dari Pak Wahyudin, teringat cerita di radio, mau tahu gak ceritanya,okay begini ceritanya.

Saat itu Napoleon Bonaparte yang sedang melakukan peperangan di Timur Tengah tahun 1799 bermaksud melepaskan 1200 tentara Turki yang berhasil ditawan Perancis, ketika Perancis berhasil merebut Jaffa. Dan malangnya Napoleon sedang terkena Influenza. Kemudian saat menginspeksi pasukan, Napoleon terserang batuk berat hingga ia mengatakan "Ma sacre toux" (Batuk sialan). Namun Perwira pendamping Napoleon yang sedang duduk tepat di sampingnya merasa sang jenderal mengatakan "Massacrez Tous" (Bunuh semua). Akibatnya, seluruh 1200 orang tawanan Turki itu dibunuh. Hanya karena batuk gsang jenderal dan kuping perwira yang error!

Kesalah kecil yang berakibat fatal, serem kalau nyampe begitu. Dari kedua hal ini pula kita bisa mengambil makna kalau ternyata dalam hal apapun kita mesti tetap konsentrasi dan intinya tidak boleh langsung menyimpulkan, dan alangkah baiknya ditanyakan kembali.
Entah itu dalam ucapan, pendengaran,penglihatan maupun sikap karena boleh jadi apa yang nampak oleh kita tak seperti apa yang kita kira.

Sama halnya dengan Hot News baru-baru ini tentang anggota dewan, heu....tuh kan udah mulai ngawur ney tapi tak apa lah...ya seharusnya mereka menujukan etika politik yang baik, masa gara-gara masalah seremonial yang gak dihadiri oleh SBY, mereka jadi ribut.
Padahal kan tak seharusnya mereka bersikap begitu di saat bangsa ini dilanda musibah,
Hellow semua...Pak SBY ke Padang kan bukan untuk liburan tapi untuk memantau saudara kita di sana. Wah...jangan-jangan mereka juga salah denger ney....nampak ada yang salah entah itu dalam pendengaran mereka atau pikiran mereka.

Ya ...terima kasih untuk semua yang sudah baca note ini, seperti biasa saya cuman mau sharing aja.
Jadi Apa yang salah?

Sabtu, 03 Oktober 2009

Perintis Lingkungan Hidup Peraih Penghargaan Kalpataru Tahun 1982


Hutan mempunyai arti penting begi kehidupan manusia. Disamping memberikan hasil berupa kayu dan kekayaan alam yang terkandung di dalam nya,hutan juga memberikan sumber air, mencegah erosi dan sebagainya.

Namun manusia sering tidak mau mengerti. Penebangan dan pembakaran hutan terjadi dimana-mana, tanpa memperhitungkan akibatnya. Demikian halnya yang terjadi di Cianjur Selatan, tepatnya di desa Cidamar Kecamatan Cidaun. Daerah yang dulunya hijau penuh hutan menjadi gundul gersang. Akibatnya banjir dan erosi merajarela.

Melihat keadaan yang semakin parah, seseorang yang bernama Samsi Puradiwangsa merasa terpanggil untuk turun tangan. Pada tahun 1959, ketika masih aktif mengajar di berbagai sekolah di Cianjur, beliau mulai berjuang mengamankan hutan yang tersisa. Tanpa mengenal lelah beliau keluar masuk Cidamar, berusaha menyadarkan masyarakat setempat untuk mengolah tanahnya dengan baik tanpa merusak hutan, antara lain melalui dakwah dan ceramah-ceramah.

Untuk itu Beliau harus mondar-mandir dari Cianjur ke Cidamar dengan berjalan kaki dan menyebrangi 7 buah sungai dengan getek ( alat transportasi sungai terbuat dari bambu ). Dari Cianjur ke Cidamar, waktu itu harus ditempuh selama satu hari satu malam.

Tahun 1961 Beliau mulai aktif menghubungi pihak pemerintah untuk merubah status hutan yang tak bertuan untuk dijadikan hutan lindung ( cagar alam ). Di sela-sela kesibukannya sebagai guru, Samsi Puradiwangsa mengadakan kontak dengan pihak pemerintah baik daerah maupun pusat.

Pada tahun 1973 apa yang diidamkannnya jadi kenyataan. Hutan seluas 750 hektar dijadikan hutan lindung yang dikenal sebagai Cagar Alam Bojonglarang Djayanti. Cagar Alam tersebut adalah hutan primer satu-satunya yang masih tersisa.

Selama perjuangannya dalam usaha mengamankan hutan Samsi Puradiwangsa selalu mengikuti perkembangannya secara terus menerus ( monitoring ).

Hasil monitoring dipakai sebagai bahan untuk melakukan penerangan selanjutnya. Selain itu juga dipakai sebagai bahan penulisan skripsinya di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Bandung

( sekarang UPI ). Sehingga pada tahun 1975 memperoleh gelar sarjana lengkap.

Berkat jasa Samsi Puradiwangsa, kini masyarakat setempat menjadi sadar akan pentingnya hutan. Tidak ada lagi penebangan hutan, bahkan masyarakat mengusulkan agar daerah hulu sungai Cidamar dihutankan juga, karena pemukiman mereka terancam banjir.

Tapi sayang sikap kesadaran masyarakat Cidaun tersebut hanya bertahan beberapa tahun saja, sekarang hutan kembali ke asal semula menjadi gundul lagi, padahal pemerintah sudah menyatakan hutan sebagai cagar alam. Generasi muda di Cidamar seolah tak peduli lagi pada lingkungannya sendiri yang notabene sebenarnya merupakan amanah dari yang kuasa yang sudah sepantasnya kita jaga.

Bapak Samsi Puradiwangsa yang kian renta dan sekarang berdomisili di Bandung sering kali menangisi hasil perjuangannya, beliau kecewa pada masyarakat Cidamar. Beberapa tahun yang lalu sebelum beliau mengalami pikun?????. beliau berkunjung ke Cidamar sambil memeluk tunggul kayu beliau pun meneteskan air mata. Air mata kekecewaan sekaligus ungkapan rasa sayangnya pada hutan malangnya. Padahal beliau sangat menaruh harapan yang tinggi pada generasi muda di sana untuk menjaga dan meneruskan perjuangan untuk merawat Hutan lindung Bojonglarang karena apa daya tubuhnya yang kian renta tak lagi perkasa untuk melintasi tujuh sungai lagi.

Note ini saya buat sebagai tribute untuk kakek saya, H. Samsi Puradiwangsa.